Suatu
ketika, Naomi mendapat kesempatan
menjadi model video klip musik salah satu penyanyi terkenal asal Korea dimana
ia dipasangkan dengan model tampan asal Korea juga, Jo In-Ho atau yang lebih
dikenal Danny Jo. Dari mula, Naomi sudah bersikap dingin menghadapi Danny yang
mencoba segala cara untuk mendekatinya. Namun, seperti juga tetesan air yang
mampu membuat ceruk di karang yang kokoh sekalipun, kegigihan Danny lambat laun
meruntuhkan dinding pembatas yang diciptakan oleh Naomi sehingga keduanya dapat
menjalin “pertemanan” yang harmonis, meskipun kemudian ada sosok Miho yang
merangsek masuk ke dalam hubungan mereka.
Hadirnya tokoh Miho untuk memberikan efek tegang cinta segitiga di
novel ini justru kurang greget, karena meskipun telah jelas-jelas dinyatakan
sikap Miho yang akan, katakanlah, berjuang sampai titik darah penghabisan demi
mendapatkan cinta Danny, tidak dinampakkan antusiasme dan semangat kompetisi
sehingga Miho terkesan selayaknya singa tanpa taring dan cakar. Terlihat gahar,
padahal nggak bisa apa-apa. Beban masa lalu yang menjadi bandul pemberat
bobot masalah dalam perjalanan cinta Naomi - Danny juga saya pikir kurang “boom”
begitu. Jadi, ketika masa lalu itu dibongkar saya hanya bisa melongo dan
bilang, “…eh, gini doank?“
penutup
Maka,
terjadilah tarik ulur di antara Naomi - Danny - Miho. Hubungan mereka pun
pasang surut, sebentar panas sebentar dingin. Belum tuntas persaingan Naomi -
Miho memperebutkan Danny, justru hadir orang dari masa lalu Naomi yang
memorakporandakan jalinan kasih yang tinggal sedikit lagi terbina. Apakah
akhirnya Naomi dan Danny dapat bersatu? Masa lalu macam apa yang membuat Naomi
begitu ketakutan? Apa hubungan kakak laki-laki Danny dengan masa lalu Naomi?
Lalu bagaimana dengan usaha Miho memperjuangkan cintanya pada Danny?
kelemahan
Namun, pada kenyataannya saya agak kecewa dengan yang ini.
Lebih kecewa ketimbang sehabis membaca buku Autumn atau Summer-nya.
Yang pertama kali saya soroti adalah minimnya konflik yang diciptakan Ilana di
sini. Konflik yang terasa hanya tentang tarik-ulur perasaan antara Naomi dan
Danny pada keseluruhan novel setebal 240 halaman ini.
Tetapi,
keunikan Ilana justru tidak dibarengi dengan ragam olahan plot dan konflik yang
mengagumkan. Entah disengaja atau bagaimana, plot gampang sekali tertebak. Dua
orang asing, bertemu dalam satu frame, saling menghindar, berkenalan,
menjalin hubungan, dan akhirnya jatuh hati. Karakter para tokohnya pun seragam.
Too perfect. Too good to be true. Lebih “ngayal” dibanding tokoh-tokoh
sinetron yang sering dihujat.
Kesalahan teknis percetakan juga banyak
sekali, ya
ampun… saya sampai harus mengelus dada dan berusaha menyabar-nyabarkan
diri. Kata hati saya memberi nasihat, “ketikan yang kacau nggaka kan bikin
cerita yang bagus jadi amburadul,” yang sayangnya sama sekali tidak berguna
bagi saya yang menyukai karya tulis yang diproduksi secara cermat. Karya tulis
yang menghargai ke”awwam“an dari pembacanya (seperti saya), sehingga
meminimalisai segala bentuk kesalahan cetak agar tidak mengurangi kenyamanan
dalam membaca.
Maka,
perpaduan antara segepok kesalahan teknis, minimnya konflik yang merangkai
cerita, goyahnya beberapa
karakter kunci, skenario klise yang gampang ketebak, serta diksi yang
kelewat minim dan sering berulang membuat novel ini menjadi seri terjelek
dari metropop seri musimnya Ilana, menurut saya pribadi. Semoga saja, di novel
berikutnya Ilana lebih bisa mengeksplorasi tema dan plot yang berbeda sehingga
dapat menyuguhkan novel yang tetap romantis namun berbobot.
Sentilan
masalah yang dilontarkan menjelang titik kulminasi terbongkarnya masa lalu
Naomi hanya memberi efek tegang sesaat, begitu materi masa lalunya dibeberkan,
saya tersenyum kecut dan jelas-jelas kecewa. Masa lalu yang biasa untuk menjadi
sebuah pengungkit kejadian traumatik.
Yang
juga terlihat kurang bagus di detail adalah usaha Ilana untuk menunjukkan bahwa
setting cerita ada di kota-nya Lady Di. Seingat saya hampir tak
secuil pun ada kalimat
dalam bahasa Inggris - yang agak janggal bagi novel urban modern masa kini-
(yang beberapa kali saya tunggu, untuk sekadar mengingatkan bahwa kita sekarang
ada di London). Dan, usaha Ilana untuk meng-Inggris-kan novelnya hanya dari
seringnya dia mengunakan idiom “Oh, dear” yang memang khas Inggris banget.
Sayang, bagi saya pribadi, konsistensi penggunaan idiom itu menjadi satu yang
agak annoying akhirnya. Kelihatan sekali bahwa Ilana ingin mengesankan
si tokoh ada di negeri Britania Raya. Too bad! Nggak sukses!
Kalau sempat iseng, hitunglah berapa kali kata oh, dear itu muncul
(catatan saya: 13 kali).
Entah
saya-nya yang sudah kadung “diracuni” infotainment di
televisi/majalah/tabloid atau situs gosip sehingga saya selalu terdoktrin bahwa
artis/selebritis itu paling tidak ada saja wartawan yang menguntit mencari
berita sensasi tentang diri si artis. Nah, kenapa saya tidak mendapati sedikit saja sensasi glamor
dari kehidupan Naomi - Danny, yang ceritanya Naomi pernah ikut London
Fashion Week dan Danny yang adalah bintang iklan favorit di Korea? Oh, come
on, di sini saja (baca: Indonesia) ada banyak majalah
dan tabloid yang isinya artis-artis Asia timur (Korea, Jepang, China, Taiwan,
Hongkong), apakah di negeri mereka sendiri mereka tidak diberitakan? Berarti
mereka bukan artis yang ngetop-ngetop amat ya…
keunggulan
Setiap
penulis memang perlu menegaskan keunikan dan kekhasan masing-masing, dan Ilana
berhasil “menyihir” fans setia-nya, setidaknya dalam seri novelnya ini, dengan menjadikan musim sebagai latar
dan judul masing-masing novelnya. Ilana juga berhasil membuat
keterkaitan antara satu novel dengan novelnya yang lain, meskipun cuman sekadar
basa-basi belaka. Saya pikir, basa-basi itu pula yang mengikat kepenasaran dari pembaca serialnya.
Pembaca yang sudah rampung dengan satu novelnya kemudian bertanya, siapa yang
muncul di novel berikutnya, apakah hubungan tokoh di novel ketiga dengan tokoh
di novel pertama, dan sebagainya. Hal tersebut membuat pembaca yang terhipnotis
pada salah satu judul novelnya menjadi kurang lengkap jika belum
menggenapi-baca kesemua musimnya. Dengan demikian, Ilana juga memperoleh
keuntungan lain yaitu dapat membangun fans pembaca yang akan selalu setia
menanti karya-karyanya.
Yang
saya suka dari gaya bercerita Ilana adalah caranya mengambil point of view yang bergantian
antara Naomi dan Danny, meskipun kata ganti yang digunakan tetap orang ketiga.
Kadang, pada satu peristiwa diulas dari dua sudut yang berbeda, sudutnya Naomi
dan sudutnya Danny. Sayang, yang seperti itu tidak konsisten dilakukan oleh
Ilana. Justru tiba-tiba cara penceritaan itu dilewatkan tokoh lain yang sebelum
dan sesudahnya hanya mempunyai porsi figuran/cameo belaka. Satu hal yang
juga tidak masuk dalam takaran selera saya karena dengan demikian sang narator
menjadi plin-plan, suatu ketika serba tahu, di lain kesempatan berpura-pura
misterius. Nggak banget deh!
Nilai
yang bisa diambil:
·
jangan jadikan
masalalu sebagai penghambat masa depan.
·
jadikanlah masa lalumu yang suram sebagai
pelajaran kehidupan untuk menjadikanmu sosok yang lebih baik.
Alasan pilihan resensi :
·
Spring in
London menyajikan drama-romantis
yang menggetarkan.
·
cerita tentang seorang laki-laki yang
mati-matian menarik minat seorang gadis yang nggak jelas maunya apa (di mata si
lelaki).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar