Sabtu, 02 November 2013
--Pesantren-
LATAR BELAKANG BERDIRINYA PESANTREN
Pondok pesantren sudah dikenal sejak abad ke 15 Masehi.tokoh yang dianggap sebagai perintis berdirinya pondok pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim.
Dalam melaksanakan dakwah islam beliau menggunakan masjid dan pondok pesantren sebagai pusat pembelajaran.DALAM PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN DIDIRIKAN OLEH PARA KIAI YANG BERCITA-CITA MENGAJARKAN DAN MENYEBARKAN AGAMA ISLAM.
Menurut ilmu pendidikan pondok pesantren lebih menekankan pentingnya sevagai pesoman prilaku sehari-hari
MACAM” MODEL DAKWAH
Pondok pesantren Dahulu
Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.
Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.
Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Ha litu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneybut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.
Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.
Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa Tengah dan Timur.
Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi pembenahan. Contoh bentuk terakhir ini terdapat pada Pondok Pesantren Tebu Ireng dan Tegalrejo.
Pesantren Kini
Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi kepada dua periodisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan. Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor. Sebelum Ampel muncul, telah berdiri pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Demikian juga halnya dengan Gontor, sebelumnya telah ada –yang justru menjadi cikal bakal Gontor- pesantren Tawalib, Sumatera. Pembagian di atas didasarkan pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia.
Sifat kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk penyampaian materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi, tapi juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian santri dan gurunya yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel yang sarungan dan sorogan. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat para Kyai salaf menekankan perasaan anti kolonial pada setiap santri dan masyarakat, hingga timbul fatwa bahwa memakai celana dan dasi hukumnya haram berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (golongan), maka dia termasuk golongan itu”.
Dalam hal ini, Gontor telah berani melangkah maju menuju perubahan yang saat itu masih dianggap tabu. Namun demikian bukan tidak beralasan. Penggunaan dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk mendobrak mitos bahwa santri selalu terkebelakang dan ketinggalan zaman. Prinsip ini tercermin dengan masuknya materi bahasa inggris menjadi pelajaran utama setelah bahasa Arab dan agama, dengan tujuan agar santri dapat mengikuti perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.
Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren yang dilakukan Gontor antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di antaranya: tidak bermazdhab, penerapan organisasi, sistem kepimimpinan sang Kyai yang tdak mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan materi umum dan bahasa Inggris, tidak mengenal bahasa daerah, penggunaan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar dan percakapan, olah raga dengan segala cabangnya dan lain-lain. Oleh karena itu Gontor mempunayi empat prinsip, yaitu: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan luas.
Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya para alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemertintah maupun swasta. Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang kemerdekaan dan mereka yang memenuhi kebutuhan lokal, maka Gontor telah memenuhi kebutuhan di segala sendi kehidupan di negeri ini. Atas dasar itu pula penulis membagi sejarah sistem pendidikan pesantren kepada dua pase; pase Ampel dan pase Gontor.
Satu persamaan yang dimilki dua madzhab ini adalah bahwa kedua-duanya tidak mengeluarkan ijazah negeri kepada alumninya, dengan keyakinan bahwa pengakuan masyarakatlah sebagai ijazahnya.
Langkah reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih unggul di segala bidang, terbukti kemampuan membaca kitab kuning (turost) masih dikuasai alumni mazdhab Ampel dibanding alumni mazdhab Gontor.
menggunakan sistem SOROGAN(guru menyimak dan murid yang membaca kitab)
Menggunakan sistem guru yang membaca dan murid yang menyimak
PERBEDAAN PESANTREN DENGAN LEMBAGA YANG LAIN.
Kalau pondok menggunakan lima unsur
Adanya kyai
Santri
Pondok
Masjid
Kitab salaf
Pondok pesantren merupakan pelapor dalam mempraktikan ,mengembangkan dan mempertahankan ajaran Islam Ahlussunnah Waljamaah di indonesia .Sedangkan lembaga lainnya belum tentu terdapat/memenuhi lima unsur tersebut.
FUNGSI DAN PERAN PESANTREN DALAM PENYEBARAN ISLAM
Pondok pesantren sebagai pelapor dalam mempraktikkan ,mengembangkan, dan mempertahankan ajaran Islam Ahli Sunnah Waljamaah.
Jika tidak ada pesantren ,sulit ditemukan lembaga pendidikan yang dapat dan meneruskaan tradisi ilmau ke-isllaman menurut faham Ahlusunnah Waljamaah yang mampu bertahan sampai sekarang.
Pondok pesantren ialah satu-satunya lembaga pendidikan dan dakwah islam yg berperan sebagai pusat pengajaran dan penyebaran islalm sekaligus pendalaman agama bagi pemeluknya secara terarah.
Fungsi: sebagai tempat untuk mencari ilmu agama islam dengan di bimbing kiyai.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar